Sabtu, 20 Desember 2008

Resiko Pekerjaan

Di suatu malam, saya berbincang-bincang dengan seorang pemuda yang adalah penduduk aseli kelahiran Terusan Tengah.

“Rul, lebih enak jadi operator himex* ya daripada dokter?”, kata saya.

“Ah, gak juga. Menurutku malah enakan jadi dokter pang**”, kata Arul.

“Enak gimana?Jadi dokter itu tanggung jawabnya besar lho Rul...Kalau salah ngasih obat terus ada apa-apa dengan pasien kan yang disalahkan dokter”, kata saya.

“Operator himex tanggung jawabnya juga besar lho pang...Satu himex itu harganya sekitar 1,3 milyar. Kalau ada spare part-nya yang hilang, dicuri orang misalnya, yang tanggung jawab kan operatornya”, kata Arul tak mau kalah.

Dan kami pun berdebat panjang lebar mengenai resiko pekerjaan kami masing-masing. Saya menganggap bahwa pekerjaan Arul sebagai operator himex lebih nyaman daripada pekerjaan saya sekarang, sebagai dokter. Begitu sebaliknya.

“Setiap pekerjaan ada resikonya”, demikian yang ayah katakan pada suatu saat. Bahkan menurut saya pribadi, untuk mendapatkan uang yang lebih banyak kita harus bekerja dengan resiko yang lebih besar pula. Ambil contoh, pendapatan seorang dokter spesialis bedah tentu jauh lebih besar dibanding pendapatan seorang dokter umum. Ini dikarenakan resiko yang harus ditanggung dari tindakan seorang dokter spesialis bedah lebih besar.

Percakapan di atas terjadi saat saya sedang merawat dua pasien kritis. Seorang pasien adalah wanita berusia sekitar 80 tahun yang mengidap gagal jantung (orang awam sering menyebutnya ‘lemah jantung’). Pasien ini sudah tiga hari tidak mau makan. Badannya lemah, sesak nafas dan merintih kesakitan karena nyeri pada pinggang bawahnya. Dari auskultasi jantung, saya tahu bahwa ada yang tidak beres dengan jantungnya. Detak jantungnya tak beraturan dan frekuensinya di atas normal (istilah medisnya takikardi).

Sesuai dengan prosedur kedokteran yang baku, bila memungkinkan, pasien seperti ini seharusnya dirawat di fasilitas kesehatan dengan peralatan dan obat-obatan yang lebih baik, dalam hal ini adalah RS Kapuas. Tetapi Kawan tentu sudah mahfum, bahwa orang Terusan Tengah sangat keberatan bila sampai dirujuk ke rumah sakit. FYI, jarak tempuh Terusan Tengah-Kapuas adalah satu jam perjalanan bila menggunakan speed boat. Biaya sewa speed boat untuk sekali jalan bisa mencapai 1 juta. Untuk orang Terusan Tengah, uang sebesar itu terlalu besar untuk ongkos berobat. Untuk itu setiap dokter yang bertugas di Terusan Tengah hampir pasti mengalami sebuah dilema: seharusnya merujuk pasien tetapi keluarga bersikeras menginginkan pasien dirawat di Puskesmas, walau dengan obat-obatan seadanya!

Pasien yang lain adalah seorang kakek berusia sekitar 70 tahun. Pasien ini lebih gawat lagi. Kondisinya tidak sadarkan diri (istilah medisnya koma dengan GCS 3). Terdengar suara ‘ngorok’ dari mulut yang menandakan banyaknya lendir di jalan nafasnya. Idealnya, pasien seperti ini dirujuk ke rumah sakit untuk dipasangi guedel, di-suction dan diberikan oksigen. Itu idealnya, seperti yang diajarkan guru-guru saya di Jawa dulu. Tapi ini Terusan Tengah bung! Listrik saja cuma ada di malam hari, bagaimana mau suction?!?

Diberi penjelasan hingga berbusa-busa pun keluarga pasien tetap keukeuh dengan pendiriannya: tidak bersedia dirujuk dengan alasan biaya.

“Tapi pasien ini terdaftar sebagai pasien Jamkesmas (Jaminan Kesehatan masyarakat) lho pak…Pengobatannya gratis!”, kata saya.

“Saya tahu pak…tapi tetap saja nanti kami harus keluar uang yang tidak sedikit. Kami dulu pernah juga memakai Jamkesmas ini saat mondok di rumah sakit, tapi kami tetap lah membayar. Tidak semua obat masuk dalam Jamkesmas ini dok, dan itu berarti kami harus menebus obat di apotik. Tolonglah kami dok…rawatlah bapak kami di rumah. Kami orang yang tidak mampu”, kata salah seorang keluarga pasien.

Tekanan darah pasien yang semakin turun membuat saya tidak punya pilihan lain. Pasien kemudian saya pasang infus dan saya gerojog dengan RL. Setelah kondisi pasien relatif stabil, saya pun berpesan kepada keluarga pasien tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan infus. Saya pulang.

Jam 12 malam ada telefon dari keluarga pasien. Setelah sampai di rumah pasien, ternyata pasien itu sudah meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun.

....


Ada saatnya ketika seorang dokter tidak bisa melakukan tindakan medis seideal yang diajarkan di almamaternya, karena penolakan dari pihak keluarga pasien. Ada saatnya seorang dokter harus mengambil resiko tertentu dalam menangani pasien kritis. Dan ada saatnya seorang dokter harus kehilangan waktu untuk sekedar sms-an dengan pacarnya karena pasien yang berdatangan tanpa henti.

Setiap pekerjaan itu ada resikonya.Titik.

* Himex adalah alat berat semacam traktor yang berfungsi untuk mengeruk lumpur.
** Pang adalah akhiran yang biasa digunakan oleh orang Banjar di akhir kalimat. Semacam kata ‘bang’ dalam bahasa Betawi, atau ‘mas’ dalam bahasa Jawa.

1 komentar:

dhika.h mengatakan...

Pengabdian broo.... sms pacar juga pengabdian kepacar hehehe.... Segala kebaikan ada balsannya mas, kemauan sampean tugas disana Insya Alloh jadi pahala bro...