“Mungkin agak terlambat, sampai pada umur 25 tahun, aku masih belum mengerti bagaimana aku harus mengatur langkahku dalam hidup ini. Sampai umur itu hanya nasib saja membawaku ke tingkat hidupku waktu itu.
Malahan dalam tengok balik, kiranya telah seringkali aku membuat sikap yang salah. Tetapi kemudian aku mengerti, bahwa pengalaman demikian, tidak terjadi pada diriku sendiri, tetapi orang-orang lain pun mengalaminya, bahkan mungkin sebagian dari mereka, kegelapan masih menyelubungi dalam sisa kehidupannya.”
~
Prof. DR. dr. Djohansjah Marzoeki, SpB, SpBP (K) dalam buku beliau yang berjudul
Hidup Ini.
Kiranya Kawan semua perlu mengetahui alasan kenapa saya membeli buku ini, walaupun harganya mungkin terlalu mahal untuk sebagian orang: 100 ribu rupiah untuk buku setebal ‘hanya’ 101 halaman. Saya hanya ingin bisa mengatakan kepada Prof Djohan saat ujian PPDS Bedah di FK Unair nanti, bila Tuhan berkenan, “Prof…I’ve read your book which the title was Hidup Ini. That was an amazing book!” Hanya itu, dan berharap saya akan lolos ujian nantinya. Ngarep.
***
“Umur + Prosentase Luka Bakar = Prosentase Kematian.”
Itulah rumus sederhana dari seorang Prof Djohan untuk menghitung prognosis dari seorang pasien luka bakar. Jadi, bila ada pasien berumur 50 tahun yang menderita luka bakar hingga 40 persen di sekujur tubuhnya, maka prediksi kematian untuk pasien ini adalah 90 persen! The bigger the size, the greater the stress*.
Burn is a devastating injury. Luka bakar adalah seberat-beratnya trauma, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan kedalaman lukanya: derajat 1, 2 dan 3. Derajat 1 ditandai dengan kemerahan pada kulit, biasanya sembuh dalam beberapa hari. Derajat 2 ditandai dengan adanya lepuh pada kulit, biasanya sembuh dalam 10-14 hari. Sedangkan derajat 3 kerusakannya bisa mencapai otot dan tulang.
Perhitungan luas luka bakar yang lazim digunakan saat ini adalah rule of nine yang diajukan oleh Wallace (untuk dewasa) dan tabel Lund-Browder (untuk anak-anak). Perhitungan ini berdasarkan ketentuan, 1% adalah setara dengan luas telapak tangan penderita (catat: bukan tangan pemeriksa).
Permeabilitas pembuluh darah kapiler mengalami peningkatan pada kasus luka bakar ini, akibatnya cairan dari ruang intravaskuler akan keluar ke jaringan interstitium. Karena demikian banyak cairan keluar dari pembuluh darah, volume cairan intravaskuler berkurang (hipovolemia) sehingga sirkulasi terganggu. Untuk itulah, pemberian cairan intravena adalah hal yang perlu diperhatikan setelah jalan napas bebas dan telah diberikan oksigen 2-4 liter per menit.
Cairan intravena yang dimaksud adalah Ringer Laktat. Menurut ATLS, cairan intravena yang diberikan adalah 2000 ml. Sedangkan menurut Parkland, cairan yang diberikan adalah 4 ml/kgBB/prosentase luka bakar. Separuh jumlah diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya diberikan sampai dengan 24 jam pasca trauma.
Lain lagi menurut dr Yefta A. Moenajad, SpBP dari RSCM. Beliau mengenalkan pemberian cairan yang disebut sebagai low volume resuscitation dengan menggunakan HES. Berbeda dengan pemberian cairan kristaloid (misalnya Ringer Laktat) yang jumlah pemberiannya setara dengan 3 kali jumlah cairan yang hilang, pemberian HES jumlahnya sesuai dengan jumlah cairan yang hilang (100 ml diganti 100 ml, 200 ml diganti 200 ml, dan seterusnya). Pemberian cairan yang minimal ini menurunkan resiko terjadinya overload (macam udem paru), yang terkadang dijumpai pada pemberian cairan kristaloid yang berlebihan. Pun begitu, pemberian cairan yang minimal ini juga beresiko menyebabkan terjadinya gagal ginjal (tipe pre-renal). Nah lo.
Lagi-lagi Prof Djohan memberi jalan terang.
“Sebelum diuji lebih lanjut dengan penelitian-penelitian yang valid, sebaiknya jangan coba-coba dengan metode-metode yang baru ini. Gunakan saja protap yang sudah ada, walaupun tidak menutup kemungkinan dalam prakteknya nanti akan terjadi sedikit improvisasi”, kata Prof.
Keberhasilan resusitasi, menurut dr Yefta, tidak melulu didasarkan pada produksi urin sebesar 0,5-1 cc/kgBB/jam saja, tapi meliputi banyak faktor. Diantaranya adalah GCS, respirasi rate, gastric juice production, mean arterial pressure, central venous pressure, PaO2, PCO2, HCO3, Na, Cl, K, Ca, Mg, dan P. “Untuk Puskesmas di daerah perifer, monitor tekanan darah dan capillary refill time kiranya cukup”, kata yang punya blog, dalam hati tentunya.
Untuk mengurangi nyeri pada luka bakar, morfin adalah pilihan utama. Bila tidak ada, injeksi Novalgin atau paracetamol pun jadi. Sedangkan untuk antibiotik, pilihan jatuh pada golongan silver sulfadiazine/SSD (misalnya Dermazin). Antibiotik ini adalah satu-satunya antibiotik yang tidak mengenal resistensi kuman sejak jaman baheula. Satu lagi, SSD mampu menembus eschar (jaringan keras yang menutup luka). Kawan tentunya juga paham, bahkan vampir pun konon tidak tahan dengan yang namanya silver. “Berarti bawang putih tidak ada salahnya untuk dicoba dong”, kata yang punya blog, lagi-lagi cuma di dalam hati.
* Dalam Seminar Nasional “Luka Bakar” yang diadakan di Hotel Rattan Inn, Banjarmasin pada tanggal 29 November 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar