Rabu, 03 Desember 2008

Batiruh*

“Jika ada waktu senggang, tidurlah”, demikian pesan salah satu guru saya saat di bangku kuliah dulu. Kenapa guru saya memberi saran demikian? Alasannya, karena seorang dokter harus siap bertugas 24 jam sehari, entah jam 6 pagi, jam 10 malam atau mungkin jam 2 dini hari saat mata seharusnya beristirahat. Maka dari itu, setiap ada kesempatan untuk beristirahat, maka seorang dokter harus menggunakannya sebaik mungkin.

***

Hari Jum’at, setelah sms-an dengan yayang, atau tepatnya jam 11 malam, ada orang yang mengetuk pintu rumah dinas tempat saya tinggal. Ternyata ada tamu dari blok D Kiri.

“Yang sakit siapa pak?”, tanya saya.

“Tetangga saya dok…”

“Sakitnya apa?”

“Katanya tadi habis jatuh…terus sempat kejang-kejang”

“Lha terus pasiennya masih sadar gak?”, tanya saya.

“Wah…gak tahu dok…saya tadi Cuma disuruh manggil dokter. Saya malah belum lihat orang yang sakit”

Tipikal orang Terusan Tengah nomor satu: tidak membawa cukup informasi mengenai pasien bila datang menghubungi dokter.

Dengan membawa peralatan dan obat seperlunya, saya lalu berangkat ke blok D Kiri dengan diantar orang tersebut. Jarak dari rumah dinas (letaknya di blok B Kiri), dengan blok D Kiri sekitar 5 km. Untungnya, malam itu tidak hujan, jadi jalan yang kami lalui tidak terlalu becek. Jalanan di Terusan tengah, yang menghubungkan blok yang satu dengan blok yang lain, beceknya bukan main sehabis hujan deras.

Sesampai di rumah pasien, saya lihat seorang laki-laki berusia 60 tahun-an tergolek di tempat tidur dengan kondisi setengah sadar. Saat pasien miring ke kanan, saya melihat ‘sesuatu’ keluar dari duburnya (baca:tahi!). Watttaaaa….

Saya minta salah satu keluarga pasien untuk membersihkan duburnya terlebih dahulu dan memindahkan pasien ke ruang tengah. Vital sign segera saya ukur: tensi 60/40, nadi cepat dan halus, sementara ujung tangan dan kakinya teraba dingin. “Waduh…ini sih syok namanya!”, batin saya.

“Mas, pasien ini gawat! Perlu segera diinfus. Saya harus segera ambil infus di Puskesmas. Bisa antarkan saya balik ke blok B Kiri lagi?”, tanya saya.

“Bisa ja dok…Mari…”, jawab orang yang tadi mengantar saya.

“Sementara saya ambil infus, salah satu orang mengangkat kaki seperti ini ya”, kata saya sambil mengangkat kedua kaki pasien.

Setelah mengambil beberapa botol infus RL, infus set, abocath dan tetek bengek lainnya, saya lalu mencoba memasangnya begitu sampai di rumah pasien (lagi). Dan ternyata saudara-saudara…susah sekali!!! Entah sudah berapa kali tusukan yang saya lakukan, tetap tidak berhasil juga. Setidaknya tiga buah abocath sudah saya coba: ukuran 18G sebuah dan sisanya berukuran 20G.

“Ya Allah…kenapa susah sekali?”, pikir saya.

“Coba yang sini dok”, kata salah seorang keluarga pasien sambil menunjuk sebuah pembuluh darah di tangan dekat lipatan siku.

“Itu terlalu kecil pak…kalau saya pasang infus di situ, pembuluhnya bisa pecah”, kata saya.

Tapi berhubung sudah tidak ada pilihan pembuluh darah yang lain, akhirnya pembuluh itu saya coba. Dan alhamdulillah…infus berhasil masuk! Langsung saja saya gerojog dengan Ringer Laktat (RL). Dan saat botol infus yang pertama habis, pasien tiba-tiba kejang.

“Wah, tanda-tanda sakaratul maut nih?!?”, batin saya.

“Salah satu tolong bisikkan ‘Allahu Akbar’ atau istighfar ke telinga pasien pak!”, kata saya.

“Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar…”, demikian kalimat takbir berkumandang di rumah pasien malam itu. Saya hanya bisa pasrah. “Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan”, pikir saya.

Tapi kejang kemudian berhenti. Ajaibnya, tensi malah naik menjadi 100/60, walaupun beberapa menit kemudian turun lahi ke angka 80/60. Saya sedikit lega.

“Kakek ini sebaiknya dirujuk ke rumah sakit Kapuas pak, soalnya tensinya sudah agak stabil”, kata saya.

“Bbbbbbbb…bagaimana….kkkkkkalau…dddiiiirawat…ddddii Pppuskesmas saja ddddokk?”, kata keluarga pasien, yang ternyata menderita gagap.

“Kalau menurut saya, pasien ini sebaiknya langsung dirawat di rumah sakit. Di sana, fasilitas dan obat-obatan lebih lengkap”, kata saya.

“Ttttttapi…kkkkkkami…ttttidak punya…cccccukup…uang dok. Ggggabah…kami…ttttttidak laku…ddddijual….”, kata keluarga pasien.

Tipikal orang Terusan Tengah nomor dua: enggan dirujuk ke rumah sakit dengan alasan biaya.

Akhirnya, saya ‘terpaksa’ merawat kakek ini di Puskesmas. Pasien tiba di Puskesmas sekitar jam 4 pagi. Tensinya masih bertahan di angka 80/60. Tapi ujung kaki dan tangannya sudah agak hangat. Capillary Refill Time-nya juga sudah kurang dari 2 detik.

Saya pun pulang ke rumah dinas dengan maksud untuk tidur sejenak. Tapi perut yang keroncongan membuat saya terpaksa menunda keinginan itu dan bergegas membikin semangkuk mie rebus. Hingga ada sms dari yayang: “Maaf sayang, semalem aku ketiduran, belum sempat bales sms…”

Kawan, ternyata Indomie rasa Soto Banjar Limau Kuit itu kalau dimakan saat pagi hari, terlebih sambil membaca sms dari pacar, rasanya huenak sekali!

* Bahasa Dayak. Batiruh artinya tidur.

Tidak ada komentar: