Selasa, 06 Januari 2009

Blood Glucose Meter

Jadilah Manusia Merdeka

“Jangan pernah takut dengan apa pun!”, demikian kata seorang teman kepada saya. Itu terjadi ketika teman saya keluar dari ruangan atasannya. Saya yang kebetulan berada di luar ruangan saat itu sempat mendengar teriakan-teriakan keras yang berasal dari dalam ruangan. Teman saya itu marah-marah dan membentak-bentak atasannya karena pada saat itu dirinya merasa dirugikan. Saya cuma tertegun. Sebagai orang Jawa yang mengutamakan unggah ungguh dan tepo sliro, hal ini tentu kurang wajar bagi saya. Teman saya itu memang bukan orang Jawa, tapi sebenarnya dirinya juga tahu bahwa membentak-bentak atasan adalah hal yang kurang patut. Tapi hari itu dia tak dapat menahan kekecewaannya terhadap si atasan.

Pertanyaan yang muncul adalah: kenapa dia berani membentak-bentak atasannya? Apakah dirinya tidak takut dipecat? Mari kita analisis kekuatan teman saya ini.

Kawan sebaiknya tahu terlebih dahulu, bahwa teman saya itu adalah istri seorang pejabat yang cukup berpengaruh di daerah kami. Suaminya adalah salah seorang sesepuh yang cukup dihormati oleh beberapa kalangan. Modal pertama untuk berani tidak lain adalah: miliki backing yang kuat! “Memangnya kamu siapa, kok berani macam-macam dengan saya”, mungkin itu yang ada di pikiran teman saya ketika berhadapan dengan atasannya.

Selain itu, teman saya ini sebenarnya memiliki banyak usaha, jadi penghasilannya tidak melulu berasal dari satu pekerjaan saja. Dia mungkin berpikir, jika dia sampai dipecat oleh atasannya itu toh dia masih bisa bekerja di bidang usaha yang lain. Lagipula, gaji suaminya sebenarnya juga sudah mencukupi untuk sekedar makan tiga kali sehari. Modal kedua untuk berani adalah: miliki jiwa yang merdeka. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang lemah karena butuh makan untuk hidup dan anus untuk buang air besar.

“Jangan pernah takut dengan apa pun Ndri. Selama kamu benar kamu gak usah takut”, demikian nasihat dari dirinya. Kebiasaannya mengikuti pengajian memang sedikit banyak membuat imannya semakin teguh, bahwa di dunia ini seorang manusia hanya perlu menghamba pada Tuhan.

Nah, setiap kejadian ada tentu ada hikmahnya bukan? Kiranya hari itu saya mendapat pelajaran moral ke empat belas yang sangat berharga, bahwa ketakutan seseorang berasal dari ketergantungannya terhadap sesuatu. Pertanyaan berikutnya saya tanyakan kepada Anda: seandainya Anda hidup selamanya, apakah Anda masih juga merasa takut?

“Jadi kada sabar handak malihat ‘Twilight’ di bioskop pang!”

Sabtu, 03 Januari 2009

Museum Mulawarman, Tenggarong

Foto bersama keponakan saya, Kiki, di depan patung Lembu Suana, Museum Mulawarman-Tenggarong

Perjalanan dari Balikpapan ke Tenggarong kami lakukan dengan mengendarai sepeda motor. Jarak yang harus ditempuh adalah 115 km, melewati jalan beraspal yang naik-turun dan berkelok-kelok. Pemandangan yang bisa dilihat kebanyakan berupa hutan dan hutan. Bila di lain waktu saya diajak naik sepeda motor lagi saya dengan tegas akan menolaknya. Bukan hanya karena jaraknya yang sangat jauh yang membuat pinggang terasa pegal-pegal seperti habis digebukin orang satu RT, tapi menurut beberapa orang, hutan yang harus dilalui itu terbilang angker. Saat pertama kali melewati hutan itu memang saya tidak merasa takut. Bukan karena saya pemberani, tapi karena tidak tahu akan hal itu! Pelajaran moral ketiga belas: tidak tahu + nekat = berani.

Tapi syukurlah, kami akhirnya sampai juga ke Tenggarong setelah tiga jam mengendarai sepeda motor. Pantat ini rasanya panas sekali, mengingat bantalan daging ini yang terbilang tipis. Tujuan sesungguhnya adalah bertandang ke tempat sepupu saya di Jl Mangkuraja Gg. 9. Tapi, sebelumnya kami singgah dulu di Museum Mulawarman, Tenggarong.

“Bermahkota bukannya raja. Berbelalai, bergading lainnya gajah. Bersayap bukannya burung. Bersisik lainnya ikan. Bertaji bukannya ayam. Binatang apakah ini?”. Demikian tulisan yang ada di monumen ‘hewan aneh’ di depan museum. ‘Hewan aneh’ yang dimaksud adalah Lembu Suana, yang juga adalah maskot kota Tenggarong.

Biaya masuk museum adalah 2500 rupiah untuk dewasa dan 1000 rupiah untuk anak-anak. Membawa kamera dan atau handycam diperbolehkan bila Anda berniat mengabadikan momen-momen saat berada di dalam museum. Membawa banana boat tentu saja tidak dianjurkan.

Museum ini terdiri dari dua lantai. Lantai bawah terletak di bawah tanah. Suasana di bawah tanah cukup pengap, apalagi kalau pengunjungnya banyak. Lebih pengap lagi kalau masing-masing pengunjung kentut. Pengap ini mungkin disebabkan oleh sirkulasi udara yang kurang lancar. Secara sirkulasi hanya ditopang oleh beberapa kipas angin saja. Di lantai ini terdapat banyak sekali koleksi keramik dari berbagai tempat, diantaranya dari Cina dan Eropa.

Di lain pihak, lantai atas terbilang sangat luas. Didalamnya terdapat banyak koleksi benda bersejarah dari Raja Mulawarman serta produk kerajinan dari Kaltim, tak ketinggalan sarung Samarinda yang terkenal itu. Berikut sejarah dari sarung Samarinda yang saya dapatkan dari museum tersebut:

“Sejarah perkembangan kerajinan tenun sarung Samarinda berawal dari perpindahan suku Wajo dari Sulawesi selatan pada abad XVII. Pada tahun 1665 terjadi peperangan di Kerajaan Bone, pada saat penyelenggaraan perkawinan putra raja Goa dengan putri raja Bone. Dalam acara tersebut diadakan sabung ayam yang diikuti oleh putra-putra raja dan kaum bangsawan. Pada saat itu ayam dari kerajaan Wajo dikalahkan oleh ayam dari Bone sehingga La Ma’dukelleng putra Arung Paniki raja Wajo menikam salah seorang bangsawan Bone yang bernama Matolla. Beberapa hari setelah kejadian itu datang utusan raja Bone ke Wajo untuk meminta raja Wajo menyerahkan La Ma’dukelleng kepada raja Bone untuk diadili.

Permintaan tersebut ditolak, sehingga terjadilah peperangan. Dalam peperangan tersebut kerajaan Wajo mengalami kekalahan. Akhirnya dengan suatu persetujuan, La Ma’dukelleng beserta ketiga putranya yaitu To Sibengareng, Petta Tarawe, Petta Tosingka serta 8 orang bangsawan dan 200 pengikutnya meninggalkan Wajo menuju tanah Kutai. Di tengah perjalanan rombongan ini kehabisan bekal dan merapat di Pasir Baru. Satu bulan mereka di sana, mereka mendapat kabar bahwa kerajaan Wajo sudah ditaklukkan oleh kerajaan Bone, sehingga banyak masyarakat Bone yang berdatangan ke tanah Kutai. Akhirnya diutuslah La Mohang Daeng Mangkona menuju Kutai untuk berusaha. Pada masa itu kerajaan Kutai diperintah oleh Pangeran Dipati Mojo Kusumo. Oleh raja Kutai, La Mohang Daeng Mangkona diberi daerah Loa Buah, namun daerah tersebut tidak cocok untuk bercocok tanam, sehingga akhirnya diberi daerah Samarinda Seberang. Akhirnya La Mohang Daeng Mangkona menetap di daerah Samarinda Seberang dan berusaha di sana. Di daerah yang baru masyarakat Wajo masih terus menjalani berbagai adat tradisi dari tanah asal mereka. Salah satu yang paling menonjol adalah berkembangnya kerajinan tenun tradisional yang dikerjakan oleh kaum ibu yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama Sarung Samarinda.”

Selain Museum Tenggarong sebenarnya masih banyak obyek wisata yang ada di Tenggarong. Berhubung waktu yang sangat terbatas (karena kami harus kembali ke Balikpapan hari itu juga), maka penjelajahan kota Tenggarong (dan Samarinda) terpaksa ditunda dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.Tapi tenang saja, saya sudah minum air Mahakam kok. Konon, orang yang sudah minum air Mahakam akan kembali lagi ke sana lho. Lihat saja.